Tindakan Pemalakan di Sumba Barat Daya: Panggilan untuk Perubahan dan Kesadaran Bersama

TRAVEL - Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Emanuel Melkiades Laka Lena, baru-baru ini mengungkapkan keprihatinannya yang mendalam terkait insiden pemalakan yang terjadi di Kampung Adat Ratenggaro, Sumba Barat Daya. Insiden ini melibatkan pasangan Youtuber, John dan Riana dari saluran Jajago Keliling Indonesia, yang menjadi korban pemalakan saat mereka menawarkan jasa foto dan sewa kuda kepada wisatawan. Mereka diminta untuk membayar sejumlah uang dengan alasan membeli buku dan uang rokok, yang menciptakan pengalaman yang tidak menyenangkan bagi mereka dan merusak citra pariwisata NTT.

Laka Lena menilai tindakan tersebut sangat merugikan reputasi pariwisata daerah yang selama ini telah dibangun dengan susah payah. "Kita semua tahu bahwa pariwisata adalah salah satu sumber pendapatan utama bagi masyarakat di Sumba. Tindakan pemalakan ini tidak hanya merusak citra kita, tetapi juga bisa mengurangi jumlah wisatawan yang datang ke daerah ini," ujarnya dalam wawancara dengan detikbali pada Senin (19/5/2025).

Respons Gubernur dan Tindakan yang Diperlukan

Dalam pernyataannya, Laka Lena menegaskan pentingnya menyelesaikan masalah ini agar tidak berdampak lebih luas pada citra pariwisata daerah. Ia mengusulkan agar pemerintah daerah segera melakukan langkah-langkah konkret untuk menangani isu ini. "Kami perlu segera mencari solusi yang komprehensif dan melibatkan semua pihak terkait," tambahnya.

Gubernur juga menekankan perlunya dialog antara pemerintah daerah dan masyarakat untuk membahas pengelolaan potensi wisata di Sumba Barat Daya. "Pengelolaan harus lebih terstruktur agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan. Kita perlu memastikan bahwa semua warga memahami pentingnya menjaga citra daerah dan berperilaku sopan terhadap wisatawan," ungkapnya.

Elim R A Lau, seorang pengamat pariwisata yang juga merupakan dosen di Politeknik Negeri Kupang, memberikan pandangannya mengenai insiden ini. Ia menyerukan pemerintah untuk mengambil tindakan tegas terhadap praktik pemalakan yang semakin marak. Menurutnya, fenomena ini terjadi akibat kurangnya pengawasan dari pemerintah desa dan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dalam mengembangkan pariwisata di daerah tersebut.

"Pelatihan tentang pariwisata sudah dilakukan, tetapi pengawasan yang lebih ketat diperlukan untuk memastikan bahwa masyarakat memahami etika dalam berinteraksi dengan wisatawan," kata Elim. Ia merekomendasikan agar pemerintah daerah merumuskan peraturan yang jelas mengenai pengelolaan tempat wisata, termasuk biaya tiket dan parkir, serta biaya lainnya yang mungkin dikenakan kepada wisatawan.

Pentingnya Regulasi dalam Pengelolaan Pariwisata

Menurut Elim, regulasi yang jelas akan memberikan kekuatan hukum dan membantu masyarakat setempat untuk tidak meminta uang secara sembarangan. "Dengan adanya aturan yang tegas, desa dan masyarakat bisa mendapatkan pendapatan yang lebih teratur dan adil. Ini akan membantu menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi wisatawan dan meningkatkan pengalaman mereka saat berkunjung," ujarnya.

Lebih lanjut, Elim menekankan bahwa pengelolaan yang baik tidak hanya akan meningkatkan pendapatan desa, tetapi juga akan memperkuat hubungan antara masyarakat lokal dan wisatawan. "Ketika wisatawan merasa aman dan dihargai, mereka akan lebih mungkin untuk kembali dan merekomendasikan tempat tersebut kepada orang lain," tambahnya.

Insiden pemalakan di Kampung Adat Ratenggaro adalah sebuah panggilan untuk perubahan dan kesadaran bersama. Semua pihak, dari pemerintah hingga masyarakat lokal, perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan pariwisata yang aman dan menyenangkan. Dengan langkah-langkah yang tepat, diharapkan Sumba Barat Daya dapat mengembalikan citra positifnya sebagai destinasi wisata yang menarik dan ramah.

Artikel ini disusun untuk memberikan pandangan yang lebih mendalam mengenai insiden pemalakan di Sumba Barat Daya dan pentingnya kolaborasi dalam pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan.

Posting Komentar