Presiden Korea Selatan Hadapi Sidang Pidana

INTERNASIONAL - Presiden Korea Selatan yang dimakzulkan, Yoon Suk Yeol, muncul di pengadilan pada hari Kamis (20/02) untuk menghadapi persidangan pendahuluan atas tuduhan pemberontakan. Yoon menjadi presiden pertama di negara tersebut yang diadili dalam kasus pidana.

Kehadirannya di pengadilan distrik pusat Seoul disertai pengamanan ketat. Pada bulan Desember lalu, Yoon memberlakukan darurat militer yang memicu pemakzulannya oleh parlemen pada pertengahan bulan tersebut.

Jaksa menuduh Yoon sebagai "pemimpin pemberontakan" dan meminta proses hukum yang cepat mengingat seriusnya kasus ini. Namun, pengacara Yoon, Kim Hong-il, berargumen bahwa mereka memerlukan lebih banyak waktu untuk meninjau dokumen yang relevan.

Yoon menjelaskan bahwa deklarasi darurat militernya bukanlah upaya untuk menggulingkan negara, melainkan untuk "memperingatkan publik tentang krisis nasional" yang disebabkan oleh dominasi legislatif dari partai oposisi.

Krisis Politik yang Mendalam

Bulan lalu, Yoon didakwa oleh jaksa karena dituduh mengatur pemberontakan melalui penerapan darurat militer. Setelah bersembunyi di rumahnya, Yoon ditangkap pada bulan Januari dan didakwa secara resmi pada tanggal 26 Januari.

Mahkamah Konstitusi kini sedang mempertimbangkan nasib Yoon, apakah akan memberhentikannya secara resmi atau mengembalikan posisinya sebagai presiden. Pemberontakan adalah salah satu dari sedikit tuduhan pidana yang tidak memberikan kekebalan kepada presiden Korea Selatan, dengan ancaman hukuman penjara seumur hidup atau bahkan hukuman mati.

Pada tanggal 3 Desember 2024, Yoon mengejutkan publik dengan pengumuman darurat militer, menuduh oposisi melakukan kegiatan yang mengancam demokrasi. Walaupun ia mencabut status darurat militer pada 4 Desember setelah tekanan dari Majelis Nasional, protes besar-besaran terjadi di seluruh negeri.

Warga Korea Selatan kini berharap agar krisis politik ini segera berakhir, sehingga pemerintah dapat kembali fokus pada isu-isu mendesak seperti ekonomi yang lemah dan nilai tukar mata uang won yang terus merosot.

Meski begitu, banyak warga merasa bangga bahwa negara mereka, yang pernah mengalami kediktatoran militer hingga akhir 1980-an, mampu bertahan dan mempertahankan institusi demokratisnya di tengah tantangan yang berat.

Posting Komentar