Kisah Gereja Tritunggal Mahakudus: Jejak Kekatolikan di Bali

TRAVEL - Pulau Bali, yang dikenal sebagai pusat spiritualitas Hindu, ternyata juga memiliki kisah menarik tentang komunitas Katoliknya. Salah satu jejak sejarah kekatolikan di Bali dapat ditemukan di Desa Tuka, Dalung, Kuta Utara, Badung, tempat berdirinya Gereja Tritunggal Mahakudus, yang dikenal sebagai gereja Katolik tertua di pulau ini.

Desa Tuka menjadi tempat pertama di Bali yang menerima ajaran Katolik. Pada awal abad ke-20, beberapa penduduk desa yang sebelumnya beragama Hindu mulai beralih memeluk agama Katolik. Pada tahun 1937, komunitas kecil Katolik di sana membangun sebuah gereja sederhana dengan bantuan seorang tokoh Hindu bernama I Gusti Made Rai Sengkug. Hal ini mencerminkan awal mula hubungan harmonis antara dua agama yang berbeda.

Relokasi dan Perubahan Arsitektur

Tahun 1983 menjadi momen penting dalam sejarah gereja ini, saat bangunan gereja dipindahkan ke lokasi baru di timur desa untuk memberikan ruang lebih luas bagi jemaat. Relokasi ini diikuti oleh pembangunan gereja baru yang selesai dan diresmikan pada tahun 1987. Dalam proses perancangannya, tokoh masyarakat Desa Tuka terinspirasi oleh keindahan Pura Agung Besakih. Mereka memutuskan untuk mengadopsi gaya arsitektur Bali sebagai ciri khas gereja ini.

Gereja Tritunggal Mahakudus dirancang menyerupai wantilan, bangunan tradisional Bali yang biasa digunakan untuk pertemuan. Atapnya berbentuk limas segi empat, pintu masuknya bergaya angkul-angkul, dan interiornya diperkuat oleh pilar-pilar kayu berukir khas Bali. Altar gereja dihiasi dengan ornamen kayu, bata merah, dan batu padas, menciptakan suasana yang sakral sekaligus kental dengan nuansa tradisional.

Di atas altar, terdapat tulisan aksara Bali, "Ene anggan manira, ene rah manira," yang berarti "Inilah tubuhku, inilah darahku." Kalimat ini menjadi simbol ketulusan dan pengorbanan yang menghubungkan ajaran Katolik dengan nilai-nilai budaya Bali.

Harmoni Iman dan Budaya

Dalam setiap perayaan misa, umat Katolik di Desa Tuka tetap mengenakan pakaian adat Bali. Udeng dan kamen menjadi simbol penghormatan terhadap leluhur dan budaya lokal. Tradisi ini juga terlihat dalam dekorasi gereja, di mana gebogan dan penjor menghiasi suasana perayaan, terutama saat Natal.

Menurut Ngurah Bagus Kumara, salah satu tokoh masyarakat, pemakaian pakaian adat Bali oleh umat Katolik tidak hanya melambangkan kecintaan terhadap tradisi tetapi juga menunjukkan bagaimana agama dan budaya dapat berjalan berdampingan.

Gereja Tritunggal Mahakudus bukan hanya tempat ibadah tetapi juga simbol keberagaman dan harmoni di Bali. Dengan perpaduan arsitektur Bali dan tradisi Katolik, gereja ini menjadi bukti bahwa perbedaan agama dapat dirayakan melalui penghormatan terhadap nilai-nilai budaya dan kepercayaan.

Perjalanan sejarah Gereja Tritunggal Mahakudus mengajarkan pentingnya toleransi, kerukunan, dan saling menghormati di tengah masyarakat yang beragam. Ini adalah warisan yang terus hidup di tengah umat Katolik Desa Tuka, menjadikan gereja ini bukan hanya sebagai rumah ibadah tetapi juga sebagai saksi bisu perjalanan keberagaman di Pulau Dewata.

Posting Komentar