Filipina, yang merupakan sekutu Amerika Serikat, dalam 12 bulan terakhir telah menandatangani sejumlah perjanjian pertahanan baru. Baru-baru ini, mereka juga menjalin kerjasama dengan Selandia Baru, dan ada rencana untuk menandatangani kesepakatan serupa dengan Kanada. Selain itu, pada bulan Desember lalu, Filipina berhasil menjalin perjanjian akses timbal balik dengan Jepang, yang memungkinkan pertukaran militer yang lebih intensif.
Tentu saja, latar belakang perjanjian ini tidak terlepas dari ketegangan yang terjadi di Laut Cina Selatan (LCS), di mana Filipina dan negara-negara Asia Tenggara lainnya mengeluhkan agresi kapal-kapal Cina. Di tengah situasi ini, muncul keraguan terhadap komitmen keamanan dari AS, terutama di bawah kepemimpinan Donald Trump. Pada tahun 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag menyatakan klaim Cina atas LCS tidak memiliki dasar hukum, tetapi Cina menolak untuk mengakui keputusan tersebut.
Sementara itu, Jerman menunjukkan komitmennya terhadap kebebasan navigasi di kawasan Indo-Pasifik dengan mengirim dua kapal perang pada tahun 2024. Jerman dan Turki juga baru saja diterima sebagai negara pengamat dalam Pertemuan Menteri Pertahanan ASEAN (ADMM), yang merupakan forum penting bagi negara-negara Asia Tenggara untuk membahas isu-isu pertahanan.
Tren Belanja Senjata di Asia Tenggara
Negara-negara Asia Tenggara kini semakin aktif dalam memperluas jaringan kerja sama pertahanan dan belanja senjata. Filipina, misalnya, telah mengesahkan program modernisasi militer senilai $35 miliar, yang mencakup rencana untuk membeli kapal selam untuk pertama kalinya. Berbagai perusahaan dari Eropa dan Asia telah mengajukan penawaran, termasuk Hanwha Ocean dari Korea Selatan dan Naval Group dari Prancis.
Pada awal Mei, ThyssenKrupp Marine Systems, perusahaan asal Jerman, berhasil menandatangani kontrak dengan Singapura untuk membangun dua kapal selam tambahan tipe 218SG. Ini menunjukkan bahwa negara-negara Asia Tenggara mulai melirik Eropa sebagai mitra dalam pengadaan senjata.
Pada tahun 2024, Jerman mengekspor empat helikopter EC-145 dan rudal IRIS-T ke Thailand, sementara nilai ekspor senjata ke Singapura mencapai €1,2 miliar pada tahun 2023. Negara-negara seperti Vietnam dan Indonesia juga tengah mempertimbangkan untuk membeli senjata dari Eropa, khususnya dari Prancis, yang diharapkan dapat memperkuat posisi mereka di tengah ketegangan regional.
Presiden Prancis, Emmanuel Macron, dijadwalkan melakukan kunjungan ke Vietnam, Indonesia, dan Singapura sebagai bagian dari tur Asia Tenggara, yang menunjukkan minat Prancis dalam memperkuat kerja sama pertahanan di kawasan ini.
Tantangan dan Peluang
Meskipun ada peluang besar bagi negara-negara Eropa untuk meningkatkan penjualan senjata di Asia Tenggara, mereka juga menghadapi tantangan. Ian Storey, peneliti senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute, menyatakan bahwa perusahaan senjata Eropa harus bersaing dengan pemasok lama seperti AS dan pendatang baru seperti Korea Selatan dan Turki, yang saat ini semakin populer di kawasan ini.
Zachary Abuza, profesor di National War College Washington, menekankan bahwa tantangan terbesar bagi Jerman bukan hanya pada permintaan global, tetapi juga pada kapasitas industri pertahanan mereka. Dengan adanya ancaman dari Rusia dan ketidakpastian di Eropa, industri pertahanan Jerman mungkin tidak akan menjadi pemain utama di pasar senjata Asia Tenggara.
Namun, tren menjalin banyak aliansi dan kerjasama pertahanan diperkirakan akan terus berkembang di kawasan ini. Alexander Vuving, profesor di Daniel K. Inouye Asia-Pacific Center for Security Studies, mengatakan bahwa negara-negara Asia Tenggara yang terjebak di tengah persaingan AS dan Cina mungkin akan melihat kekuatan Eropa sebagai alternatif menarik untuk memperkuat keamanan mereka.
Dengan berbagai dinamika yang terjadi, kerja sama pertahanan antara Jerman dan Filipina serta belanja senjata di Asia Tenggara menunjukkan perubahan signifikan dalam lanskap keamanan regional.
Posting Komentar